Selasa, 12 November 2013

Diskusi Wali Nanggroe Didemo PETA

Diskusi Qanun Wali Nanggroe di aula Hotel Meuligo Meulaboh, Senin (11/11) kemarin, terganggu dengan aksi demo puluhan massa Front Pembela Tanah Air (PETA) Aceh Barat. Dialog kembali berlangsung, setelah polisi membubarkan massa penolak Wali Nanggroe.

Massa Front PETA Aceh Barat menolak pelaksanaan diskusi Qanun Wali Nanggroe di wilayah Bumi Teuku Umar. Hal tersebut disampaikan Panglima PETA Aceh Barat saat berorasi.”Haram adanya kegiatan Wali Nanggroe seperti ini, di Bumi Teuku Umar,” ujarnya.
Berkali-kali, PETA mengutarakan jika kegiatan demikian adalah upaya trik pembodohan bagi masyarakat, sehingga pantas ditolak pelaksanaannya di Kabupaten Aceh Barat. Namun aktivitas massa pendemo tidak bisa bertahan lama, karena personil polisi berpakaian lengkap menyuruh para pendomo untuk bubar.”Sudah disampaikan pendapatnya kan? sudah makan kan? Apalagi. Pulang terus sana,” kata seorang petugas berpakaian lengkap bernama Aipda Karianta kepada massa.

Tidak berhasil bertemu dengan panitia pelaksana kegiatan dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman, Taufiq terlihat kesal hingga mengajak puluhan anggotanya untuk bubar meninggalkan pekarangan Hotel Meuligoe Meulaboh.Dengan adanya aktivitas demontrasi demikian, diskusi Qanun Wali Nanggroe sempat terganggu, dan kembali dilanjutkan pukul 15.00 Wib, dengan diikuti ratusan peserta perwakilan dari empat Kabupaten, yakni Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kabupaten Aceh Barat Daya, dan Kabupaten Singkil.

Staf khusus Lembaga Wali Nanggroe Fakhrul Syahmega yang menjadi fasilitator dalam kegiatan diskusi tersebut, menjawab wartawan, merespon kelompok riak demonstrasi massa PETA Aceh Barat dengan positif. Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah yang wajar.
Mungkin, tambah Fakhrul, PETA Aceh Barat belum memahami terperinci secara detail isi dari Qanun Wali Nanggroe, hingga sampai ada beda pemahaman sudut pandang dalam melihat Qanun Wali Nanggroe. Padahal, lembaga Wali Nanggroe merupakan lembaga adat pemersatu peradaban khasanah di Aceh.”Jadi hanya Mis komunikasi saja dengan masa pendemo, makanya salah persepsi,” jawabnya.

Diskusi Qanun Wali Nanggroe di Aula Hotel Meuligoe Meulaboh, merupakan bentuk mencari masukan dari komponen masyarakat setempat terkait peradaban adat istiadat kerajaan mereka terdahulu, hingga menjadi referensi bagi lembaga Wali Nanggroe tentang peradaban khasanah dari daerah tertentu sesaui historis terdahulu.”Kami dari lembaga adat juga akan memberikan gelar penghargaan bagi para tokoh-tokoh pada sebuah daerah, karena itu lah tujuan dari lembaga ini,” ungkapnya.

Lain daerah, lain pula sejarah tempo dahulu, seperti tatacara penabalan sistem kerajaan wilayah Barat, tentu berbeda dengan sistem penabalan daerah lainnya. Diskusi ini, diharapkan Fakhrul, mampu mendapat masukan dari para peserta agar dapat menjadi sebuah rekomendasi tatacara penebalan dari suatu daerah.

Memang, tidak dipungkiri oleh Fakhrul, kalau uji publik dari Qanun Wali Nanggroe masih kurang maksimal, sebab masih terdapat masyarakat yang belum memahami secara terperinci tentang isi dari subtansi Qanun tersebut.”Sosialisasi atau uji publik terhadap penyusunan Qanun ini, ada berada saat pembahasan di DPRA, tantu letak kelemahan itu berada disana,” jelasnya.

Sementara seorang peserta tokoh masyarakat asal Aceh Jaya yang ikut dalam diskusi tersebut, Teuku Syawari, mengaku tidak sepaham jika seorang Wali Nanggroe tidak dilakukan tes membaca Al-quran, sebab, dari Geuchik, mukim, kepala daerah, sampai anggota legislatif harus melalui tahapan tes membaca Al-quran, namun seorang Wali Nanggroe yang menjadi pimpinan lembaga adat Aceh, tidak dibenarkan untuk melalui tes membaca Al-Quran. “Saya orang pertama yang menentang kelemahan ini, sebab kita daerah Aceh merupakan mayoritas islam yang historis tatanan adat sejalan dengan islam,” paparnya.(Den)

PETA Hadang Dialog WN di Meulaboh

* Peserta Diusir, Puluhan Polisi Kawal Acara
* Ketua MAA Aceh: Ini Salah Paham

Kegiatan dialog dan sosialisasi Lembaga Wali Nanggroe dilaksanakan Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh di Meulaboh, Senin (11/11), dihadang dan coba digagalkan oleh anggota Pembela Tanah Air (PETA) kabupaten setempat. Namun acara ini tetap berlangsung dengan pengawalan puluhan personel polisi dari Polres Aceh Barat.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Serambi, menyebutkan sejumlah peserta dari empat kabupaten meliputi Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya (Abdya) dan Aceh Singkil yang tiba di Hotel Meuligoe Meulaboh pada Minggu (10/11) malam diusir oleh PETA agar tidak mengikuti kegiatan tersebut, sehingga sejumlah peserta terpaksa balik kanan kembali ke daerah masing-masing.
Aksi larangan kegiatan oleh PETA berlanjut pada Senin (11/11) kemarin, sehingga peserta yang ditargetkan 100 orang dari masing-masing kabupaten 25 orang dari berbagai komponen baik MAA dan lembaga lainnya menjadi berkurang. Bahkan jadwal pembukaan yang direncanakan pukul 09.00 WIB molor hingga pukul 10.45 WIB yang dibuka Staf Ahli Bupati Aceh Barat, Syamsul Nahar.

Dalam sambutannya Syamsul Nahar saat menyatakan, dengan dialog diharapkan tercipta persepsi sama dan adat yang ada di Aceh berlandaskan syariat Islam. Dengan adanya lembaga Wali Nanggroe diharapkan dapat mengembalikan adat istiadat Aceh yang hilang. “Seperti diketahui Aceh dikenal Serambi Mekah. Ini bukan alasan karena Aceh miniatur Jazirah Arab,” katanya.

Pembukaan kegiatan yang berlangsung selama dua hari (Senin dan Selasa) dikawal ketat oleh aparat kepolisian dengan mengerahkan personel 60 orang lebih lengkap dengan mobil serbu (panser) yang dipimpin Wakapolres Aceh Barat. Sebelumnya kegiatan nyaris batal, tetapi pihak panitia adalah Ketua MAA Aceh, Badruzzaman Ismail menyampaikan hal baik ke Polres dan Polda Aceh.

Kegiatan dialog persuasif pemangku kepentingan Aceh dengan tema “Lembaga Wali Nanggroe sebagai simbol pemersatu suku-suku bangsa di Aceh dalam mengawal perdamaian dan peradaban Aceh yang bermartabat” di Meulaboh itu, merupakan yang kedua setelah sebelumnya dilaksanakan di Banda Aceh, dan nanti akan dilaksanakan juga di Langsa, Sabang, Sinabang, Takengon, dan Kutacane.

Aksi protes anggota PETA dilakukan sejak Minggu sore dengan mengerahkan puluhan anggotanya ke Hotel Meuligoe sehingga peserta yang baru tiba disuruh pulang kembali seperti dari Aceh Jaya dan Singkil sehingga peserta dari Aceh Jaya terpaka pulang kembali ke daerahnya.

Ketua PETA Aceh Barat, Amiruddin didampingi Panglima PETA Taufik mengatakan, aksi protes yang mereka lakukan kepada MAA karena kegiatan dilakukan terhadap Wali Nanggroe yang jelas-jelas ditolak di Aceh Barat. “Wali Nanggroe tidak diterima oleh masyarakat di Aceh Barat, karenanya tidak perlu dibuat di Meulaboh,” kata Taufik.

Sementara itu, Ketua MAA Aceh, Badruzzaman Ismail SH MHum yang dikonfirmasi setelah pembukaan kegiatan dialog mengatakan, protes yang dilakukan oleh PETA merupakan hal biasa dan dirinya menerima sebab itu demokrasi, artinya rukun. Namun ia mengaku kadang-kadang protes salah paham. “Saya hargai, saya senang, yang penting tidak merusak dan kita hormati semua,” katanya.

Menurutnya, kegiatan ini tetap dilanjutkan meski ada sejumlah peserta yang pulang karena uang anggaran sudah diplot dalam APBA sehingga harus dilaksanakan. Artinya kegiatan yang dilaksanakan sudah ada izin serta sudah ditempuh prosedur yang ada. “Intinya sosialisasi, menjadi kesamaan dan berbeda biasa. Ini pendekatan budaya,” katanya.

Aksi protes PETA berlanjut pada siang kemarin, sekitar 25 anggotanya dengan membawa poster bertuliskan penolakan kegiatan sosialisasi dan dialog soal Wali Nanggroe di Meulaboh. Mereka meminta bertemu dengan MAA Aceh selaku panitia kegiatan, tetapi tidak berhasil. Protes yang juga mendapat pengawalan ketat dari polisi ini akhirnya membubarkan diri setelah sekitar satu jam melaksanakan aksinya.(riz)


Senin, 11 November 2013

Dialog Meudrah Qanun Wali Nanggroe Disambut Demo

Front Pembela Tanah Air (PETA) Aceh Barat melakukan unjuk rasa menolak adanya kegiatan Dialog Partisipasi (Meudrah) Pemangku Kepentingan Aceh “Lembaga Wali Nanggroe Sebagai Simbol Pemersatu Suku-Suku Bangsa Di Aceh Dalam Mengawal Perdamaian Dan Peradaban Aceh Yang bermartabat” yang dilaksanakan oleh Majelis Adat Aceh atau MAA Provinsi Aceh.

Unjuk rasa yang dilakukan PETA itu berlangsung, Senin,(11/11) di Hotel Meuligoe, Desa Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, tepatnya tempat kegiatan itu dilaksanakan.

Koordinator unjuk rasa, Taufik, dalam orasinya mengatakan pihaknya menolak adanya kegiatan tentang dialog partisipasi terkait lembaga Wali Nanggroe tersebut. Taufik menilai Wali Naggroe bukan menjadi pemersatu, akan tetapi menjadi pemisah pemarsatuan masyakarat Aceh.

Masyarakat Pantai Barat selatan Aceh, kata dia, tidak menginginkan adanya Wali Nanggroe, jika itu dilakukan maka pantai Barat Selatan Aceh meminta agar dibentuknya Provinsi baru diwilayah tersebut. “Boleh saja Wali Nanggroe ada, asal Pantai Barat Selatan Aceh sudah menjadi provinsi tersendiri, jika tidak maka haram kegiatan ini dilaksanakan di Aceh Barat,” kata dia.

Pihak PETA juga menduga kegiatan yang dilaksanakan itu sengaja dilakukan untuk mencari tanda tangan dari tokoh masyarakat Barat Selatan agar mendapat dukungan dari Menteri Dalam Negeri. Munurut taufik, kegiatan yang dilakukan tersebut sebagai trik yang dilakukan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, melihat hal ini maka ia meminta presiden untuk segera menangani persoalan tersebut. “Ini namanya pembodohan terhadap rakyat, kenapa kami minta pemekaran tidak dikasih, tapi kenapa mereka yang berniat ingin memisahkan diri dari NKRI dikasih” ungkap Taufik.

Menanggapi aksi dari PETA, staff khusus lembaga Wali Nanggroe, Fakhrul Syah Mega, mengatakan adanya aksi yang dilakukan sekelompok masyarakat tersebut disebabkan tidak terbangunnya komunikasi antara panitia dengan pemangku kepentingan.

Harusnya, kata dia, sebelum kegiatan dilakukan panitia harus mengundang semua elemen sipil selaku pemangku kepentingan, apalagi kegiatan tersebut menurut fakhrul untuk mencari solusi terhadap penabalan Wali Naggroe. “Kegiatan yang kita lakukan ini untuk mencari masukan dan solusi seperti apa bentuk- bentuk penambalan yang harus dilakukan sesuai dengan simbol- simbol adat di Pantai Barat Selatan Aceh,” kata dia. Terkait adanya persoalan beberapa hal seperti penolakan Qanun Wali Naggroe, kata dia, harusnya bisa dibahas bersama dengan cara berdialog.

Jika memang ada pertentangan dalam isi Qanun tersebut menurutnya bisa saja direvisi asalkan ada pendapat atau masukan poin per poin dari Qanun itu yang dianggap tidak sepadan dengan pemikiran. “Yang harus kita ketahui disini hanya Al-Quran dan Hadis yang tidak dapat dirubah tapi yang namanya undang- undang Undng- undang masih bisa direvisi. UUD saja bisa di amandemen apalagi Qanun,” kata dia.

Dilaksanakannya kegiatan tentang diskusi tersebut, kata dia, berkaitan dengan amanah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh secara menyeluruh didalamnya termasuk berkaitan dengan pembentukan lembaga Wali Nanggroe. “Ini merupakan perintah presiden kepada pemerintah Aceh, yang meminta agar sesuatu yang menyangkut dengan Undang- Undang Republik IndonesiaI Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh segera dilaksanakan secara utuh.

Karena itulah kita buat kegiatan ini,” kata dia. Dari Pantauan DiliputNews.com, meski aksi berlangsung damai, salah satu personil polisi sempat menolak kepala salah satu pelaku unjuk rasa.(Red)


Sabtu, 03 Agustus 2013

Massa Front PeTA Kibarkan Bendera Merah Putih

Massa Front Pembela Tanah Air (PeTA) yang mengenakan pakaian seragam lengkap beserta baret merah dan sangkur, Jumat (2/8/2013) sekitar pukul 16.00 WIB mengibarkan ratusan bendera Merah Putih di sejumlah lokasi di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.

Pemasangan bendera kebangsaan itu dipusatkan pada sejumlah ruas jalan protokol serta Bundaran Simpang Kisaran dan Tugu Pelor Meulaboh oleh pasukan yang dipimpin Taufik, selaku Panglima Front PeTA Aceh Barat. Saat itu Meulaboh sedang diguyur hujan lebat.

Dalam aksi ini, massa turut membakar sejumlah petasan yang dipasang di badan jalan. Namun, tak diketahui apa maksudnya, sehingga menyebabkan kemacetan ketika aksi pemasangan bendera ini dilakukan. Apalagi tak terdapat aksi pengawalan atau pengamanan dari petugas keamanan ketika aksi itu berlangsung.

Seusai mengibarkan bendera di Tugu Pelor Meulaboh dan Simpang Kisaran, massa melakukan penghormatan bendera Merah Putih di kedua bundaran ini dengan maksud tetap mencintai bendera ini sebagai lambang negara yang sah, termasuk di Aceh.

Setelah mengibarkan bendera di setiap sudut, massa melakukan penggantian bendera Merah Putih ke sejumlah pemilik toko yang ada di Meulaboh untuk ditukarkan dengan bendera yang baru. Mereka juga mengimbau masyarakat untuk tetap mengibarkan Merah Putih menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-68 Kemerdekaan RI.

"Pemasangan bendera yang kita lakukan ini sebagai bentuk penolakan terhadap Bendera Aceh yang mirip dengan lambang GAM. Kami menolak bendera itu," tegas Sekretaris Umum Front PeTA Aceh, Amiruddin.

Ia menambahkan, pihaknya siap memberikan perlawanan dalam bentuk apapun apabila ada pihak yang ingin memperkeruh suasana di Aceh, khususnya dengan rencana pengibaran bendera Bintang Bulan pada 15 Agustus mendatang. (edi)

Pro-kontra bendera
* Jumat (2/8/2013) pukul 02.30 WIB, anggota Polri dan TNI menurunkan bendera Aceh (Bintang Bulan) di sejumlah lokasi di Kota Lhokseumawe
* Pada hari yang sama, pukul 03.00 WIB, Polsek Madat, Aceh Timur, menurunkan 20 lembar bendera Bintang Bulan
* Polisi bersama anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) setempat juga menurunkan 30 bendera Bintang Bulan di Indra Makmu, Aceh Timur
* Jumat (2/8/2013) pukul 16.00 WIB, massa Front Pembela Tanah Air (PeTA) mengibarkan ratusan bendera Merah Putih di sejumlah lokasi di Meulaboh, Aceh Barat. Mereka menentang bendera Bintang Bulan sebagai bendera Aceh.

Massa Front Pembela Tanah Air (PeTA) yang mengenakan pakaian seragam lengkap beserta baret merah dan sangkur, Jumat (2/8/2013) sekitar pukul 16.00 WIB mengibarkan ratusan bendera Merah Putih di sejumlah lokasi di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Pemasangan bendera kebangsaan itu dipusatkan pada sejumlah ruas jalan protokol serta Bundaran Simpang Kisaran dan Tugu Pelor Meulaboh oleh pasukan yang dipimpin Taufik, selaku Panglima Front PeTA Aceh Barat. Saat itu Meulaboh sedang diguyur hujan lebat.

Dalam aksi ini, massa turut membakar sejumlah petasan yang dipasang di badan jalan. Namun, tak diketahui apa maksudnya, sehingga menyebabkan kemacetan ketika aksi pemasangan bendera ini dilakukan. Apalagi tak terdapat aksi pengawalan atau pengamanan dari petugas keamanan ketika aksi itu berlangsung.

Seusai mengibarkan bendera di Tugu Pelor Meulaboh dan Simpang Kisaran, massa melakukan penghormatan bendera Merah Putih di kedua bundaran ini dengan maksud tetap mencintai bendera ini sebagai lambang negara yang sah, termasuk di Aceh.

Setelah mengibarkan bendera di setiap sudut, massa melakukan penggantian bendera Merah Putih ke sejumlah pemilik toko yang ada di Meulaboh untuk ditukarkan dengan bendera yang baru. Mereka juga mengimbau masyarakat untuk tetap mengibarkan Merah Putih menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-68 Kemerdekaan RI.

"Pemasangan bendera yang kita lakukan ini sebagai bentuk penolakan terhadap Bendera Aceh yang mirip dengan lambang GAM. Kami menolak bendera itu," tegas Sekretaris Umum Front PeTA Aceh, Amiruddin.

Ia menambahkan, pihaknya siap memberikan perlawanan dalam bentuk apapun apabila ada pihak yang ingin memperkeruh suasana di Aceh, khususnya dengan rencana pengibaran bendera Bintang Bulan pada 15 Agustus mendatang. (edi)

Pro-kontra bendera
* Jumat (2/8/2013) pukul 02.30 WIB, anggota Polri dan TNI menurunkan bendera Aceh (Bintang Bulan) di sejumlah lokasi di Kota Lhokseumawe
* Pada hari yang sama, pukul 03.00 WIB, Polsek Madat, Aceh Timur, menurunkan 20 lembar bendera Bintang Bulan
* Polisi bersama anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) setempat juga menurunkan 30 bendera Bintang Bulan di Indra Makmu, Aceh Timur
* Jumat (2/8/2013) pukul 16.00 WIB, massa Front Pembela Tanah Air (PeTA) mengibarkan ratusan bendera Merah Putih di sejumlah lokasi di Meulaboh, Aceh Barat. Mereka menentang bendera Bintang Bulan sebagai bendera Aceh.



Sabtu, 20 April 2013

F-PETA Minta Presiden Batalkan Qanun Bendera Aceh

Organisasi Front Pembela Tanah Air (F-PETA) Kabupaten Aceh Barat meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membatalkan peraturan daerah (qanun) Nomor 3/2013 tentang bendera dan lambang Aceh.

"Presiden harus membatalkan Qanun Bendera dan Lambang Aceh yang telah disahkan DPRA. Tidak semua rakyat Aceh sepakat untuk menggunakan bendera Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menjadi bendera daerah," kata Panglima F-PETA Kabupaten Aceh Barat Taufiq yang dihubungi dari Banda Aceh, Sabtu (20/4).

Menurutnya, sebagai bentuk penolakan terhadap qanun Nomor 3/2013 tentang bendera dan lambang Aceh itu, anggota F-PETA telah membalut tugu pelor Meulaboh dengan bendera merah putih berukuran 8 X 6 pada Kamis lalu.

Ia mengatakan F-PETA tidak akan membiarkan bendera bulan bintang berkibar di pantai barat Aceh.

"Kami yakin Presiden tidak akan sepakat terhadap peraturan yang ditelah disahkan DPRA itu," katanya.

Taufiq juga menyatakan jika Pemerintah Aceh dan DPRA tetap bersikeras mempertahankan idiologinya maka warga di pesisir barat selatan itu akan meminta pemekaran Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS).

"F-PETA sepakat dengan pemekaran ABAS dari pada harus tunduk kepada idiologi kepentingan satu kelompok," katanya menambahkan.

Selain di Kabupaten Aceh Barat, penolakan terhadap bendara bintang bulan dan lambang daerah buraq singa juga terjadi di kabupaten Aceh Selatan.

Ratusan warga di kabupaten Aceh Selatan juga melakukan aksi pengibaran raksasa di tugu pala dan melakukan konvoi kenderaan sambil membawa bendera merah putih.(ant)


Kamis, 18 April 2013

PETA Kibarkan Merah Putih Raksasa Di Tugu Pelor Meulaboh

Puluhan anggota Front Pembela Tanah Air (PETA) Aceh Barat, Kamis (18/4) petang, melakukan aksi pengibaran bendera merah putih di raksasa Tugu Simpang Pelor, Kota Meulaboh.

“Pemasangan bendera dan membalut tugu bersejarah simpang pelor dengan merah putih, sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkap Panglima Front PETA Aceh Barat, Taufik.

Secara tegas Taufik meminta kepada, meminta Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar menyikapi keberadaan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang lambang dan bendera bulan bintang menjadi lambang Aceh. ”Kami dari anngota PETA dan masyarakat tidak sepakat Bulan Bintang menjadi lambang daerah Aceh, jika SBY tetap menjadikan lambang tersebut daerah Aceh, kami akan memisahkan diri dari Provinsi Aceh,” katanya.

Taufik, mengaku akan mendukung wacana pemisahan diri dari Provinsi Aceh, dengan cara mendukung lahirnya provinsi baru di Aceh, yakni Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS).

”Kepada bapak Presiden SBY dan bapak Menteri Dalam Negeri tolong untuk menandatangi pemekaran diri wilayah ABAS dari wilayah Provinsi Aceh,” pintanya. Namun, jika bendera bulan bintang tetap berkibar di Aceh Barat, maka Taufik menuturkan, akan mengerahkan anggotanya untuk menurunkan bulan bintang berkibar dari bumi Teuku Umar.

“Kami siap perang, kalau telah seperti ini,”paparnya. Lebih lanjut dikatakannya, pemisahan dari Provinsi Aceh karena penolakan terhadap bendera dan lambang Aceh sehingga pemekaran adalah terbaik, serta meminta Presiden SBY segera merealisasikan pemekaran Provinsi ABAS dan Provinsi ALA.

Pantaun DiliputNews.com, pengibran bendera raksasa yang berukuran 8×6 meter tersebut, di iringi dengan penghormatan, sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Merah Putih Raksasa Selimuti Tugu Pelor Meulaboh

Puluhan anggota Front Pembela Tanah Air (PETA) Aceh Barat, Kamis (18/4) petang, melakukan aksi pengibaran bendera merah putih di Tugu Simpang Pelor, Kota Meulaboh. “Pemasangan bendera dan membalut tugu bersejarah simpang pelor dengan merah putih, sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” ungkap Panglima Front PETA Aceh Barat, Taufik.

Secara tegas Taufik meminta kepada, meminta Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar menyikapi keberadaan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang lambang dan bendera bulan bintang menjadi lambang Aceh.

”Kami dari anngota PETA dan masyarakat tidak sepakat Bulan Bintang menjadi lambang daerah Aceh, jika SBY tetap menjadikan lambang tersebut daerah Aceh, kami akan memisahkan diri dari Provinsi Aceh,” katanya.

Taufik, mengaku akan mendukung wacana pemisahan diri dari Provinsi Aceh, dengan cara mendukung lahirnya provinsi baru di Aceh, yakni Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS). ”Kepada bapak Presiden SBY dan bapak Menteri Dalam Negeri tolong untuk menandatangi pemekaran diri wilayah ABAS dari wilayah Provinsi Aceh,” pintanya.

Namun, jika bendera bulan bintang tetap berkibar di Aceh Barat, maka Taufik menuturkan, akan mengerahkan anggotanya untuk menurunkan bulan bintang berkibar dari bumi Teuku Umar. “Kami siap perang, kalau telah seperti ini,”paparnya. Pantaun DiliputNews.com, pengibran bendera raksasa yang berukuran 8×6 meter tersebut, di iringi dengan penghormatan, sambil menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia .