Selasa, 12 November 2013

Diskusi Wali Nanggroe Didemo PETA

Diskusi Qanun Wali Nanggroe di aula Hotel Meuligo Meulaboh, Senin (11/11) kemarin, terganggu dengan aksi demo puluhan massa Front Pembela Tanah Air (PETA) Aceh Barat. Dialog kembali berlangsung, setelah polisi membubarkan massa penolak Wali Nanggroe.

Massa Front PETA Aceh Barat menolak pelaksanaan diskusi Qanun Wali Nanggroe di wilayah Bumi Teuku Umar. Hal tersebut disampaikan Panglima PETA Aceh Barat saat berorasi.”Haram adanya kegiatan Wali Nanggroe seperti ini, di Bumi Teuku Umar,” ujarnya.
Berkali-kali, PETA mengutarakan jika kegiatan demikian adalah upaya trik pembodohan bagi masyarakat, sehingga pantas ditolak pelaksanaannya di Kabupaten Aceh Barat. Namun aktivitas massa pendemo tidak bisa bertahan lama, karena personil polisi berpakaian lengkap menyuruh para pendomo untuk bubar.”Sudah disampaikan pendapatnya kan? sudah makan kan? Apalagi. Pulang terus sana,” kata seorang petugas berpakaian lengkap bernama Aipda Karianta kepada massa.

Tidak berhasil bertemu dengan panitia pelaksana kegiatan dan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Badruzzaman, Taufiq terlihat kesal hingga mengajak puluhan anggotanya untuk bubar meninggalkan pekarangan Hotel Meuligoe Meulaboh.Dengan adanya aktivitas demontrasi demikian, diskusi Qanun Wali Nanggroe sempat terganggu, dan kembali dilanjutkan pukul 15.00 Wib, dengan diikuti ratusan peserta perwakilan dari empat Kabupaten, yakni Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kabupaten Aceh Barat Daya, dan Kabupaten Singkil.

Staf khusus Lembaga Wali Nanggroe Fakhrul Syahmega yang menjadi fasilitator dalam kegiatan diskusi tersebut, menjawab wartawan, merespon kelompok riak demonstrasi massa PETA Aceh Barat dengan positif. Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah yang wajar.
Mungkin, tambah Fakhrul, PETA Aceh Barat belum memahami terperinci secara detail isi dari Qanun Wali Nanggroe, hingga sampai ada beda pemahaman sudut pandang dalam melihat Qanun Wali Nanggroe. Padahal, lembaga Wali Nanggroe merupakan lembaga adat pemersatu peradaban khasanah di Aceh.”Jadi hanya Mis komunikasi saja dengan masa pendemo, makanya salah persepsi,” jawabnya.

Diskusi Qanun Wali Nanggroe di Aula Hotel Meuligoe Meulaboh, merupakan bentuk mencari masukan dari komponen masyarakat setempat terkait peradaban adat istiadat kerajaan mereka terdahulu, hingga menjadi referensi bagi lembaga Wali Nanggroe tentang peradaban khasanah dari daerah tertentu sesaui historis terdahulu.”Kami dari lembaga adat juga akan memberikan gelar penghargaan bagi para tokoh-tokoh pada sebuah daerah, karena itu lah tujuan dari lembaga ini,” ungkapnya.

Lain daerah, lain pula sejarah tempo dahulu, seperti tatacara penabalan sistem kerajaan wilayah Barat, tentu berbeda dengan sistem penabalan daerah lainnya. Diskusi ini, diharapkan Fakhrul, mampu mendapat masukan dari para peserta agar dapat menjadi sebuah rekomendasi tatacara penebalan dari suatu daerah.

Memang, tidak dipungkiri oleh Fakhrul, kalau uji publik dari Qanun Wali Nanggroe masih kurang maksimal, sebab masih terdapat masyarakat yang belum memahami secara terperinci tentang isi dari subtansi Qanun tersebut.”Sosialisasi atau uji publik terhadap penyusunan Qanun ini, ada berada saat pembahasan di DPRA, tantu letak kelemahan itu berada disana,” jelasnya.

Sementara seorang peserta tokoh masyarakat asal Aceh Jaya yang ikut dalam diskusi tersebut, Teuku Syawari, mengaku tidak sepaham jika seorang Wali Nanggroe tidak dilakukan tes membaca Al-quran, sebab, dari Geuchik, mukim, kepala daerah, sampai anggota legislatif harus melalui tahapan tes membaca Al-quran, namun seorang Wali Nanggroe yang menjadi pimpinan lembaga adat Aceh, tidak dibenarkan untuk melalui tes membaca Al-Quran. “Saya orang pertama yang menentang kelemahan ini, sebab kita daerah Aceh merupakan mayoritas islam yang historis tatanan adat sejalan dengan islam,” paparnya.(Den)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar