Front Pembela Tanah Air (PETA) Aceh
Barat melakukan unjuk rasa menolak adanya kegiatan Dialog Partisipasi (Meudrah)
Pemangku Kepentingan Aceh “Lembaga Wali Nanggroe Sebagai Simbol Pemersatu
Suku-Suku Bangsa Di Aceh Dalam Mengawal Perdamaian Dan Peradaban Aceh Yang
bermartabat” yang dilaksanakan oleh Majelis Adat Aceh atau MAA Provinsi Aceh.
Unjuk rasa yang dilakukan PETA itu berlangsung, Senin,(11/11) di Hotel
Meuligoe, Desa Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, tepatnya
tempat kegiatan itu dilaksanakan.
Koordinator unjuk rasa, Taufik, dalam
orasinya mengatakan pihaknya menolak adanya kegiatan tentang dialog partisipasi
terkait lembaga Wali Nanggroe tersebut. Taufik menilai Wali Naggroe bukan
menjadi pemersatu, akan tetapi menjadi pemisah pemarsatuan masyakarat Aceh.
Masyarakat Pantai Barat selatan Aceh, kata dia, tidak menginginkan adanya Wali
Nanggroe, jika itu dilakukan maka pantai Barat Selatan Aceh meminta agar
dibentuknya Provinsi baru diwilayah tersebut. “Boleh saja Wali Nanggroe ada,
asal Pantai Barat Selatan Aceh sudah menjadi provinsi tersendiri, jika tidak
maka haram kegiatan ini dilaksanakan di Aceh Barat,” kata dia.
Pihak PETA juga
menduga kegiatan yang dilaksanakan itu sengaja dilakukan untuk mencari tanda
tangan dari tokoh masyarakat Barat Selatan agar mendapat dukungan dari Menteri
Dalam Negeri. Munurut taufik, kegiatan yang dilakukan tersebut sebagai trik
yang dilakukan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia,
melihat hal ini maka ia meminta presiden untuk segera menangani persoalan
tersebut. “Ini namanya pembodohan terhadap rakyat, kenapa kami minta pemekaran
tidak dikasih, tapi kenapa mereka yang berniat ingin memisahkan diri dari NKRI
dikasih” ungkap Taufik.
Menanggapi aksi dari PETA, staff khusus lembaga Wali
Nanggroe, Fakhrul Syah Mega, mengatakan adanya aksi yang dilakukan sekelompok
masyarakat tersebut disebabkan tidak terbangunnya komunikasi antara panitia
dengan pemangku kepentingan.
Harusnya, kata dia, sebelum kegiatan dilakukan
panitia harus mengundang semua elemen sipil selaku pemangku kepentingan,
apalagi kegiatan tersebut menurut fakhrul untuk mencari solusi terhadap
penabalan Wali Naggroe. “Kegiatan yang kita lakukan ini untuk mencari masukan
dan solusi seperti apa bentuk- bentuk penambalan yang harus dilakukan sesuai
dengan simbol- simbol adat di Pantai Barat Selatan Aceh,” kata dia. Terkait
adanya persoalan beberapa hal seperti penolakan Qanun Wali Naggroe, kata dia,
harusnya bisa dibahas bersama dengan cara berdialog.
Jika memang ada
pertentangan dalam isi Qanun tersebut menurutnya bisa saja direvisi asalkan ada
pendapat atau masukan poin per poin dari Qanun itu yang dianggap tidak sepadan
dengan pemikiran. “Yang harus kita ketahui disini hanya Al-Quran dan Hadis yang
tidak dapat dirubah tapi yang namanya undang- undang Undng- undang masih bisa
direvisi. UUD saja bisa di amandemen apalagi Qanun,” kata dia.
Dilaksanakannya
kegiatan tentang diskusi tersebut, kata dia, berkaitan dengan amanah Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh secara menyeluruh didalamnya
termasuk berkaitan dengan pembentukan lembaga Wali Nanggroe. “Ini merupakan
perintah presiden kepada pemerintah Aceh, yang meminta agar sesuatu yang
menyangkut dengan Undang- Undang Republik IndonesiaI Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintah Aceh segera dilaksanakan secara utuh.
Karena itulah kita
buat kegiatan ini,” kata dia. Dari Pantauan DiliputNews.com, meski aksi
berlangsung damai, salah satu personil polisi sempat menolak kepala salah satu
pelaku unjuk rasa.(Red)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar