Senin, 11 November 2013

Dialog Meudrah Qanun Wali Nanggroe Disambut Demo

Front Pembela Tanah Air (PETA) Aceh Barat melakukan unjuk rasa menolak adanya kegiatan Dialog Partisipasi (Meudrah) Pemangku Kepentingan Aceh “Lembaga Wali Nanggroe Sebagai Simbol Pemersatu Suku-Suku Bangsa Di Aceh Dalam Mengawal Perdamaian Dan Peradaban Aceh Yang bermartabat” yang dilaksanakan oleh Majelis Adat Aceh atau MAA Provinsi Aceh.

Unjuk rasa yang dilakukan PETA itu berlangsung, Senin,(11/11) di Hotel Meuligoe, Desa Kuta Padang, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, tepatnya tempat kegiatan itu dilaksanakan.

Koordinator unjuk rasa, Taufik, dalam orasinya mengatakan pihaknya menolak adanya kegiatan tentang dialog partisipasi terkait lembaga Wali Nanggroe tersebut. Taufik menilai Wali Naggroe bukan menjadi pemersatu, akan tetapi menjadi pemisah pemarsatuan masyakarat Aceh.

Masyarakat Pantai Barat selatan Aceh, kata dia, tidak menginginkan adanya Wali Nanggroe, jika itu dilakukan maka pantai Barat Selatan Aceh meminta agar dibentuknya Provinsi baru diwilayah tersebut. “Boleh saja Wali Nanggroe ada, asal Pantai Barat Selatan Aceh sudah menjadi provinsi tersendiri, jika tidak maka haram kegiatan ini dilaksanakan di Aceh Barat,” kata dia.

Pihak PETA juga menduga kegiatan yang dilaksanakan itu sengaja dilakukan untuk mencari tanda tangan dari tokoh masyarakat Barat Selatan agar mendapat dukungan dari Menteri Dalam Negeri. Munurut taufik, kegiatan yang dilakukan tersebut sebagai trik yang dilakukan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, melihat hal ini maka ia meminta presiden untuk segera menangani persoalan tersebut. “Ini namanya pembodohan terhadap rakyat, kenapa kami minta pemekaran tidak dikasih, tapi kenapa mereka yang berniat ingin memisahkan diri dari NKRI dikasih” ungkap Taufik.

Menanggapi aksi dari PETA, staff khusus lembaga Wali Nanggroe, Fakhrul Syah Mega, mengatakan adanya aksi yang dilakukan sekelompok masyarakat tersebut disebabkan tidak terbangunnya komunikasi antara panitia dengan pemangku kepentingan.

Harusnya, kata dia, sebelum kegiatan dilakukan panitia harus mengundang semua elemen sipil selaku pemangku kepentingan, apalagi kegiatan tersebut menurut fakhrul untuk mencari solusi terhadap penabalan Wali Naggroe. “Kegiatan yang kita lakukan ini untuk mencari masukan dan solusi seperti apa bentuk- bentuk penambalan yang harus dilakukan sesuai dengan simbol- simbol adat di Pantai Barat Selatan Aceh,” kata dia. Terkait adanya persoalan beberapa hal seperti penolakan Qanun Wali Naggroe, kata dia, harusnya bisa dibahas bersama dengan cara berdialog.

Jika memang ada pertentangan dalam isi Qanun tersebut menurutnya bisa saja direvisi asalkan ada pendapat atau masukan poin per poin dari Qanun itu yang dianggap tidak sepadan dengan pemikiran. “Yang harus kita ketahui disini hanya Al-Quran dan Hadis yang tidak dapat dirubah tapi yang namanya undang- undang Undng- undang masih bisa direvisi. UUD saja bisa di amandemen apalagi Qanun,” kata dia.

Dilaksanakannya kegiatan tentang diskusi tersebut, kata dia, berkaitan dengan amanah Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh secara menyeluruh didalamnya termasuk berkaitan dengan pembentukan lembaga Wali Nanggroe. “Ini merupakan perintah presiden kepada pemerintah Aceh, yang meminta agar sesuatu yang menyangkut dengan Undang- Undang Republik IndonesiaI Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh segera dilaksanakan secara utuh.

Karena itulah kita buat kegiatan ini,” kata dia. Dari Pantauan DiliputNews.com, meski aksi berlangsung damai, salah satu personil polisi sempat menolak kepala salah satu pelaku unjuk rasa.(Red)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar